Oleh: Inajati Adrisijanti
Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM
pengajuan
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia pada banjir perubahan besar yang mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada dasarnya, perubahan adalah proses sejarah panjang yang terbentang dari waktu ke waktu. Dalam sejarah Indonesia, proses ini dapat diamati dari awal terbentuknya masyarakat pada zaman prasejarah, hingga masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha, masuknya agama dan budaya Islam, serta adanya pengaruh Barat, hingga saat ini. kemudian. . Dapat dipahami bahwa dalam perjalanan sejarah tersebut, bangsa Indonesia telah beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu menghadapi kedatangan budaya lain yang sifatnya berbeda. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa ada ketegangan dan konflik dalam proses yang panjang ini. Namun, ketegangan dan konflik ini sebenarnya merupakan bagian dari proses unifikasi.
Sebagai negara berkembang yang terus berkembang, generasi muda di Indonesia modern masih membutuhkan pendidikan budaya, terutama yang berkaitan dengan sejarah budaya dan peradaban bangsa. Hal ini ditegaskan karena upaya mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas memerlukan landasan pemahaman dan pengetahuan yang kokoh tentang sejarah budaya masyarakat dan bangsa. Masyarakat Indonesia saat ini merupakan mosaik yang kompleks, yang esensinya akan sulit dipahami tanpa mengetahui konteks sejarahnya, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Tanpa meremehkan pengaruh budaya lain, perlu dicatat bahwa budaya Islam Indonesia merupakan salah satu unsur yang membentuk mosaik budaya Indonesia dan mulai muncul di Nusantara sejak abad ke-11 Masehi.
II. kedatangan islam
Selama ini kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti, dan sulit untuk mengetahui kapan suatu keyakinan akan mulai diterima oleh masyarakat tertentu. Lebih jauh lagi, wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, berarti bahwa satu daerah dapat menerima pengaruh Islam atas daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan dengan pasti kapan Islam masuk ke seluruh Nusantara. Oleh karena itu, berbagai data dari berbagai jenis, arkeologi dan bukan, berperan dalam membuktikan keberadaan Muslim di daerah yang terkena dampak.
Beberapa sarjana mengklaim bahwa Islam dilembagakan di antara orang Indonesia pada abad ke-7 dan ke-8 M berdasarkan laporan Cina dari dinasti T'ang, karena kekuasaan Ho-ling begitu kuat. Groeneveldt mengidentifikasi Ta-shih sebagai Arab, Ho-ling sebagai Kalingga dan Si-mo sebagai Sima. Namun, berita ini belum diverifikasi secara arkeologis, terutama dari sudut pandang warisan budaya material. Dengan kata lain, tidak ada bukti artifisial tentang keberadaan umat Islam di Indonesia pada abad 7-8 Masehi.
Di sisi lain, diketahui bahwa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha dan lembaga-lembaga keagamaannya masih berkembang dengan baik di Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Meski bukan berarti umat Islam belum menginjakkan kaki di tanah Indonesia. Namun, setidaknya satu komunitas Muslim yang signifikan belum terbentuk.
Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh umat Islam dari Arab dan Persia saat ini sebenarnya telah mencapai Asia Tenggara dan Cina. Ia dapat diketahui dari sumber Muslim yang sama, seperti Ibnu Khurdadhbih (846), Ibnu Rusteh (903) dan Al Biruni (1030). Mereka menyebutkan kunjungan mereka ke berbagai tempat seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu, Gresik.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-11 M di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sudah ada penganut agama Islam yang tinggal di kota-kota pelabuhan. Bukti arkeologis datang dalam bentuk batu nisan yang diukir di makam kuno.
Leran, dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan konon pada tahun 475 H. dengan 1082 H. C. Artinya masih dalam masa pemerintahan kerajaan Kadiri. Dilihat dari namanya, tampaknya dua generasi di atas Fatima (ayah dan kakeknya) memeluk Islam. Namun, tidak jelas apakah penduduk asli yang memeluk Islam atau pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat.
Di sisi lain, nama Fatima tidak didahului dengan gelar apapun. Berbeda dengan nama Samudra-Pasai, Malik al-Saleh yang diawali dengan gelar al-sultan. Ini berarti Fatimah adalah seorang Muslim yang populer. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat itu pusat kekuasaan ala Hindu masih kokoh berada di kerajaan Kadiri.
Setelah tahun 1082 M, catatan kehadiran Muslim di Nusantara baru muncul pada abad ke-13 M. C., terutama dipahatkan dalam bentuk plakat peringatan dengan huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatera Utara). Prasasti itu menunjukkan nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun kematiannya, atau 602 H. yang bertepatan dengan 1205 Masehi. C. Dilihat dari namanya, diduga yang meninggal adalah wanita Bumiputra yang telah masuk Islam. Selain itu, juga diduga bahwa ia termasuk rakyat jelata karena namanya tidak didahului dengan gelar atau nama bangsawan apapun. Namun, bukan tidak mungkin lembaga politik atau kerajaan model Islam belum ada di wilayah Barus saat itu. Padahal Barus sudah dikenal di dunia internasional sebagai penghasil kapur barus jauh sebelum Masehi.
lembaga politik ketiga
Pada fase berikutnya, kerajaan Islam terbentuk. Di Indonesia, kerajaan Islam tertua adalah Samudra-Pasai, terletak di pantai timur Aceh saat ini. Di negeri ini masih ada sebuah kota bernama Samudra dan Pasai, yang terletak di tepi pantai Selat Malaka. Sebuah kuburan kuno telah ditemukan di situs tersebut, di batu nisannya terdapat tulisan dalam bahasa Arab dan huruf. Salah satu batu nisan berisi prasasti bernama al-Sultan al Malik al Saleh, yang meninggal pada 696 H (sesuai dengan 1297 M). Pencantuman gelar al-sultan menjadi dasar untuk memaknai keberadaan lembaga politik Islam di wilayah tersebut.
Tentu saja, sebelum terbentuknya lembaga politik Islam, Islam sudah tersebar luas di kalangan masyarakat. Hal ini tersirat dalam sumber tertulis yang berkaitan dengan daerah. Marcopolo yang mengunjungi beberapa pelabuhan di wilayah tersebut pada tahun 1292, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduknya beragama Islam, sedangkan penduduk asli masih kafir. Di sisi lain, sumber tertulis lokal seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Historia Melayu hanya mengatakan bahwa Meurah Silu, pemimpin Samudra-Pasai, masuk Islam oleh Fakir Muhammad yang keluar dari angin. Namanya kemudian diubah menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa, lembaga politik Islam atau Kesultanan Demak lahir pada abad ke-15, bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit. Perpindahan penguasa politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 pada hakikatnya adalah perebutan tahta antar anggota keluarga kerajaan. Dalam hal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa diberdayakan untuk menguasai kekuasaan kerajaan Majapahit. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pandangan agama juga memberikan peluang bagi Demak untuk menaklukkan Majapahit.
Perlu juga dicatat bahwa umat Islam tinggal di kota kerajaan dari ketinggian Majapahit, sebagaimana dibuktikan oleh makam Islam kuno Tralaya. Batu nisan kuno berisi tahun-tahun tertua: 1290 = 1368 M. C. dan jumlah tahun terakhir 1533 = 1611 d. C., tetapi tidak mengandung nama apa pun. Data tersebut menggambarkan bahwa pada tahun 1368 H. C., masih dalam masa keemasan Majapahit, umat Islam sudah tinggal di kota kerajaan, karena situs Tralaya diduga berada di selatan Istana Majapahit. Beberapa batu nisan di situs tersebut memuat relief matahari Majapahit yang dianggap sebagai lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dimakamkan di sana adalah kerabat raja dan beragama Islam.
IV. penyebaran islam
Sebelum lahirnya Kesultanan Demak, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan baik oleh pihak asing itu sendiri maupun oleh penduduk setempat sendiri. Adapun sarana penyebarannya antara lain melalui perkawinan dengan perempuan setempat, undangan, pendidikan dan kesenian. Beberapa penyebar agama Islam, beberapa di antaranya adalah Wali Sanga, mendirikan perguruan-perguruan tinggi Islam yang murid-muridnya datang dari berbagai penjuru, dan kemudian komunitas-komunitas Muslim terbentuk di banyak tempat di Jawa.
Selama periode ini, penyebaran Islam juga mempengaruhi pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi. Pembagian tersebut dipimpin oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politik dari para penguasa. Hal semacam ini dapat dilihat dalam penyebaran Islam, misalnya di Kalimantan Selatan. Pada tahap awal, Islam menyebar melalui jalur perdagangan ke Nusantara, artinya Islam dibawa oleh para pedagang asing dan diperkenalkan kepada penduduk Nusantara. . . Hal ini sesuai dengan perdagangan abad 7-16, terutama dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Tenggara dan sebaliknya. Selanjutnya dalam Islam, mentransfer ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua. Keterlibatan para pedagang dalam penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam banyak daerah dalam Babad atau Hikayat.
Para pedagang asing, termasuk umat Islam, cukup lama berdiam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, karena selain untuk kegiatan komersial, mereka juga menunggu angin kembali ke negaranya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga karena kondisi laut yang kasar dan sulit saat itu. Oleh karena itu, mereka biasanya memulai sebuah keluarga dengan menikahi seorang wanita Bumiputra yang pertama kali masuk Islam. Dengan demikian keturunannya menjadi generasi pertama Bumiputra yang beragama Islam. Hal seperti itu lebih menguntungkan lagi jika perempuan pribumi itu adalah putri dari keluarga penting, karena status sosialnya telah mempercepat penyebaran Islam di sana. Cara penyebaran Islam ini sering tersirat dalam sumber-sumber tertulis lokal.
Jalur lain yang juga berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= santri tasawuf) mengandung kesamaan dengan konsep pemikiran mistik Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara saat itu. Antara lain memudahkan diterimanya Islam oleh penduduk nusantara.
Selain melalui perdagangan, perkawinan dan tasawuf, penyebaran agama Islam juga berlangsung melalui pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan diselenggarakan oleh para ulama di universitas atau perguruan tinggi Islam. Lembaga pendidikan ini tidak sulit diterima oleh penduduk nusantara pada waktu itu, karena sistemnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan yang dijalankan oleh orang-orang bijak pada masa sebelumnya. Perguruan tinggi Islam ini banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena ulama yang mengelola perguruan tinggi tersebut dianggap orang yang ramah, terpelajar dan penolong.
Cara lain untuk menyebarkan Islam adalah melalui seni, seperti sastra, seni pertunjukan, musik, patung dan arsitektur. Melalui seni pertunjukan, seperti wayang yang populer di kalangan masyarakat Jawa, ajaran Islam dapat ditransfer dengan memperkenalkannya dalam pertunjukan yang selalu didasarkan pada cerita Jawa kuno. Selain itu, para penyair pada masa itu juga sedang mengarang cerita-cerita baru untuk diinterpretasi, seperti cerita Menak. Demikian pula teks tembang yang mengiringi pertunjukan juga digunakan untuk mengungkapkan ajaran agama baru.
Arsitekturnya juga digunakan sebagai sarana penyebaran Islam di Nusantara. Contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam pembangunan masjid. Seperti diketahui, gaya arsitektur masjid-masjid kuno yang disebut gaya Nusantara ini dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan Islam. Oleh karena itu, para pemuda muslim tidak heran ketika tiba di tempat ibadah (masjid) baru yang bentuk dan suasananya sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Berbicara tentang masuknya Islam di Nusantara, selain waktu dan metode, lintasannya pada fase pertama tidak bisa dilewatkan. Dalam hal ini, mereka adalah kelompok etnis yang membawa agama Islam ke luar nusantara. Sebab meskipun Islam diwartakan di Jazirah Arab, diduga ekspansinya ke Nusantara tidak dilakukan secara total dan tidak langsung oleh bangsa Arab. Etnis lain juga berperan dalam arah ini, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin Cina. Penafsiran itu didasarkan, antara lain, pada:
ada beberapa jira dan batu nisan yang didatangkan dari Gujarat (Pantai Barat India) ada episode yang menunjukkan peran orang Arab dan India dalam penyebaran Islam di Nusantara antara lain dalam Hikayat Raja -Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawa. 3. Pemberitahuan yang ditulis oleh Ma-huan (Sekretaris Laksamana Cheng-ho yang mengunjungi Majapahit pada tahun 1415) tentang keberadaan Muslim etnis Tionghoa di Jawa
Pada fase selanjutnya, penyebaran Islam tampaknya dilakukan oleh penduduk setempat sendiri. Hal ini terlihat pada peran para penilik di Jawa dan ulama lainnya seperti Dato'ri Bandang di Sulawesi Selatan dan Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Sumber tertulis lokal mengatakan bahwa mereka telah menyebarkan Islam kepada para pemimpin masyarakat dan meditator yang mapan, yang telah menarik banyak siswa dari berbagai daerah. Banyak legenda berbicara tentang keunggulan orang-orang kudus, terutama tentang kebijaksanaan dan kekuatan gaib mereka.
Di Jawa konon ada sembilan, sehingga biasa disebut Wali Sanga, meski nama anggotanya tidak selalu sama. Nama-nama yang sering disebutkan dalam sumber tertulis lokal adalah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri dan Sunan (Te) mBayat. Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar dan Sunan Sendang juga kadang disebut. Ada banyak tentang Wali yang secara historis tidak pasti, tetapi kuburan mereka masih berantakan hingga hari ini.
V. Perubahan dan kesinambungan budaya
Masuknya dan berkembangnya Islam di Indonesia telah membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tidak ada kuil atau kilat yang dibangun lagi, tetapi masjid, surah, dan makam muncul. Sistem kasta dalam masyarakat dihapuskan, patung dewa dan bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Pematung kemudian beralih ke kaligrafi, mengembangkan ornamen bunga dan geometris dan menciptakan dekorasi bergaya. Kota memiliki komponen dan tata letak baru. Juga pada abad ketujuh belas Masehi. C., Sultan Agung melahirkan penanggalan Jawa yang pada hakikatnya merupakan “perkawinan” antara penanggalan Akka dan Hijriah.
Namun di sisi lain, budaya tidak dapat dipisahkan, sehingga ada juga kesinambungan yang inovatif. Kubah masjid dan makam berbentuk atap yang ditinggikan, seperti Masjid Agung Demak yang bentuk dasarnya sudah dikenal sejak zaman dahulu, terbukti dari berbagai relief di candi. Begitu juga menara masjid tempat muadzin mengumandangkan adzan, begitu juga menara masjid Menara di Kudu. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dengan candi-candi yang panjang dan ramping gaya Jawa Timur, namun detailnya berbeda. Apse merupakan bangunan terbuka, relungnya dangkal karena tidak terdapat arca, dan hiasan reliefnya diganti dengan ubin porselen.
Bangunan makam Islam merupakan hal yang baru di Indonesia pada saat itu, sehingga batu nisan, jiras dan cungkub diciptakan dalam berbagai bentuk seni. Makam makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda-benda impor dalam bentuk jadi, terbukti dengan corak tulisan Arab yang digunakan pada prasasti dan jenis dekorasi. Belakangan, nisan dibuat di Indonesia oleh seniman lokal. Hal ini terlihat antara lain pada dekorasi yang digunakan seperti ricci, patra, dan lain-lain. Juga di Pemakaman Raja-Raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) pada jirat adalah patung orang yang dikuburkan. Ini adalah sesuatu yang belum terjadi di tempat lain.
Dalam perencanaan kota, khususnya di kota-kota nyata di Jawa, kita juga melihat adanya perubahan dan kontinuitas. Di pusat kota kota-kota ini terdapat alun-alun, istana, masjid besar, dan pasar yang diatur menurut pola tertentu. Di sekelilingnya, bangunan lain, serta kawasan pemukiman, juga diatur dalam kelompok-kelompok menurut jenis pekerjaan, asal dan status sosial.
MILIKMU. penutupan
Selama perjalanan Anda, sebuah budaya biasanya mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, gaya kultivasi di suatu daerah berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan budaya lain, atau dengan kata lain karena adanya kekuatan dari luar. Hubungan antara pendukung dua budaya yang berbeda telah lama tercermin dalam akulturasi, yang mencerminkan keberadaan pemberi dan penerima. Dalam proses ini, unsur-unsur dari dua budaya yang bertemu dipertemukan. Awalnya, unsur-unsurnya masih mudah dikenali, tetapi seiring waktu, akan muncul fitur-fitur baru yang tidak muncul di budaya induk.
Ternyata, proses yang digambarkan di atas terjadi berkali-kali di Indonesia, bahkan ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Perjumpaan dan akulturasi antara budaya Hindu-Budha, prasejarah dan Islam (dan kemudian Barat) berlangsung selama periode yang panjang dan bertahap. Tidak dapat disangkal bahwa akan ada ketegangan dan konflik selama periode ini. Namun, itu adalah bagian dari proses akulturasi. Faktor pendukung akulturasi adalah kesetaraan dan keluwesan budaya pemberi dan budaya penerima, dalam hal ini budaya Islam dan pra-Islam. Contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga merangsang kreativitas seniman dan dengan demikian menciptakan produk budaya baru yang belum pernah ada sebelumnya, serta cara hidup baru.
Setelah diketahui bahwa budaya dan perubahan telah terjadi untuk membentuk budaya Indonesia-Islam, perlu dipikirkan bagaimana mengembangkannya di masa sekarang dan di masa depan. Dari segi budaya material, perkembangan harus dilakukan sesuai dengan kemajuan teknologi, agar tidak terjadi pemalsuan, tetapi tanpa meninggalkan kearifan yang telah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya budaya yang ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun selalu dengan ciri khasnya sendiri. Hasil akulturasi juga menunjukkan adanya keterkaitan dalam perkembangan budaya Indonesia. Agar mata rantai ini tetap terlihat, pengelolaan terpadu warisan budaya Indonesia harus dilaksanakan. Ini harus dikatakan dan digarisbawahi karena banyak warisan budaya yang terancam, terutama karena kurangnya kesadaran dan pemahaman orang Indonesia sendiri.
REFERENSI
Adriijanti Romli, Inajati, 1997, "Islam dan Budaya Jawa", di Cinandi, Yogyakarta: Panitia Jurusan Arkeologi UGM Lustrum VII, hlm. 146-150
, 2001, Arkeologi Kota Mataram-Islam, Yogyakarta:
Jendela
, 2003 ”, Bandara Komersial Barus Raya. Studi banding dengan
Bandari Purba di Pulau Jawa”, Seminar Internasional Barus Raya, Jakarta: 2003
, 1991, "Makam kesultanan dan sipir stasiun
Islam di Jawa”, dalam Aspek Arkeologi Indonesia, n. 12, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, “Makam Islam Tralaya”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara (terjemahan), Jakarta: EFEO, hlm. 223-334
Guillot, Claude, (eds), 2002, Ou Wolf. Sejarah Awal Barus, Jakarta: EFEO dan Pusat Penelitian Arkeologi.
Miksic, John, 1996, warisan Indonesia. Sejarah Kuno, Singapura: Didier Millet Pte Ltd.
Subarna, Abay D., 1987, “Elemen Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam”, Makalah Diskusi Ilmiah Arkeologi II.
Tjahjono, Gunawan, 1998, warisan Indonesia. Arsitektur, Singapura: Didier Millet Pte Ltd
Tjandrasasmita, Uka, 1985, Kedatangan dan Penyebaran Islam di Indonesia
Tentang Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Masagung
Tjandrasasmita, Uka (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka
_________
jenis huruf:
Dokumen tersebut disampaikan pada acara informasi wisata sejarah daerah DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Nilai Tradisional di Yogyakarta pada 11-14 Juli 2006.
Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM
pengajuan
Proses modernisasi dan globalisasi menempatkan bangsa Indonesia pada banjir perubahan besar yang mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan masyarakat, terutama kehidupan budaya. Pada dasarnya, perubahan adalah proses sejarah panjang yang terbentang dari waktu ke waktu. Dalam sejarah Indonesia, proses ini dapat diamati dari awal terbentuknya masyarakat pada zaman prasejarah, hingga masuknya pengaruh budaya Hindu-Budha, masuknya agama dan budaya Islam, serta adanya pengaruh Barat, hingga saat ini. kemudian. . Dapat dipahami bahwa dalam perjalanan sejarah tersebut, bangsa Indonesia telah beberapa kali berada dalam situasi yang sama, yaitu menghadapi kedatangan budaya lain yang sifatnya berbeda. Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa ada ketegangan dan konflik dalam proses yang panjang ini. Namun, ketegangan dan konflik ini sebenarnya merupakan bagian dari proses unifikasi.
Sebagai negara berkembang yang terus berkembang, generasi muda di Indonesia modern masih membutuhkan pendidikan budaya, terutama yang berkaitan dengan sejarah budaya dan peradaban bangsa. Hal ini ditegaskan karena upaya mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berintegritas memerlukan landasan pemahaman dan pengetahuan yang kokoh tentang sejarah budaya masyarakat dan bangsa. Masyarakat Indonesia saat ini merupakan mosaik yang kompleks, yang esensinya akan sulit dipahami tanpa mengetahui konteks sejarahnya, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun budaya. Tanpa meremehkan pengaruh budaya lain, perlu dicatat bahwa budaya Islam Indonesia merupakan salah satu unsur yang membentuk mosaik budaya Indonesia dan mulai muncul di Nusantara sejak abad ke-11 Masehi.
II. kedatangan islam
Selama ini kedatangan Islam di Indonesia belum diketahui secara pasti, dan sulit untuk mengetahui kapan suatu keyakinan akan mulai diterima oleh masyarakat tertentu. Lebih jauh lagi, wilayah Nusantara yang luas, dengan banyak daerah perdagangan yang memungkinkan terjadinya kontak dengan orang asing, berarti bahwa satu daerah dapat menerima pengaruh Islam atas daerah lain. Oleh karena itu, sulit untuk mengatakan dengan pasti kapan Islam masuk ke seluruh Nusantara. Oleh karena itu, berbagai data dari berbagai jenis, arkeologi dan bukan, berperan dalam membuktikan keberadaan Muslim di daerah yang terkena dampak.
Beberapa sarjana mengklaim bahwa Islam dilembagakan di antara orang Indonesia pada abad ke-7 dan ke-8 M berdasarkan laporan Cina dari dinasti T'ang, karena kekuasaan Ho-ling begitu kuat. Groeneveldt mengidentifikasi Ta-shih sebagai Arab, Ho-ling sebagai Kalingga dan Si-mo sebagai Sima. Namun, berita ini belum diverifikasi secara arkeologis, terutama dari sudut pandang warisan budaya material. Dengan kata lain, tidak ada bukti artifisial tentang keberadaan umat Islam di Indonesia pada abad 7-8 Masehi.
Di sisi lain, diketahui bahwa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha dan lembaga-lembaga keagamaannya masih berkembang dengan baik di Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Meski bukan berarti umat Islam belum menginjakkan kaki di tanah Indonesia. Namun, setidaknya satu komunitas Muslim yang signifikan belum terbentuk.
Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh umat Islam dari Arab dan Persia saat ini sebenarnya telah mencapai Asia Tenggara dan Cina. Ia dapat diketahui dari sumber Muslim yang sama, seperti Ibnu Khurdadhbih (846), Ibnu Rusteh (903) dan Al Biruni (1030). Mereka menyebutkan kunjungan mereka ke berbagai tempat seperti: Kalah (Kedah), Zabag (Jawa), Fansur (Barus). Pengertian Jawa di sini tentunya mencakup pelabuhan-pelabuhan kuno di pesisir utara pulau Jawa, seperti Tuban, Sedayu, Gresik.
Bukti arkeologis menunjukkan bahwa pada akhir abad ke-11 M di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, sudah ada penganut agama Islam yang tinggal di kota-kota pelabuhan. Bukti arkeologis datang dalam bentuk batu nisan yang diukir di makam kuno.
Leran, dekat kota Gresik (Jawa Timur). Pada batu nisan itu tertulis nama: Fatimah binti Maimun bin Hibatallah, dan konon pada tahun 475 H. dengan 1082 H. C. Artinya masih dalam masa pemerintahan kerajaan Kadiri. Dilihat dari namanya, tampaknya dua generasi di atas Fatima (ayah dan kakeknya) memeluk Islam. Namun, tidak jelas apakah penduduk asli yang memeluk Islam atau pendatang yang menetap di pelabuhan terdekat.
Di sisi lain, nama Fatima tidak didahului dengan gelar apapun. Berbeda dengan nama Samudra-Pasai, Malik al-Saleh yang diawali dengan gelar al-sultan. Ini berarti Fatimah adalah seorang Muslim yang populer. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat itu pusat kekuasaan ala Hindu masih kokoh berada di kerajaan Kadiri.
Setelah tahun 1082 M, catatan kehadiran Muslim di Nusantara baru muncul pada abad ke-13 M. C., terutama dipahatkan dalam bentuk plakat peringatan dengan huruf Arab di kompleks makam Tuan Makhdum di Barus (pantai barat Sumatera Utara). Prasasti itu menunjukkan nama: Siti Tuhar Amisuri, dan tahun kematiannya, atau 602 H. yang bertepatan dengan 1205 Masehi. C. Dilihat dari namanya, diduga yang meninggal adalah wanita Bumiputra yang telah masuk Islam. Selain itu, juga diduga bahwa ia termasuk rakyat jelata karena namanya tidak didahului dengan gelar atau nama bangsawan apapun. Namun, bukan tidak mungkin lembaga politik atau kerajaan model Islam belum ada di wilayah Barus saat itu. Padahal Barus sudah dikenal di dunia internasional sebagai penghasil kapur barus jauh sebelum Masehi.
lembaga politik ketiga
Pada fase berikutnya, kerajaan Islam terbentuk. Di Indonesia, kerajaan Islam tertua adalah Samudra-Pasai, terletak di pantai timur Aceh saat ini. Di negeri ini masih ada sebuah kota bernama Samudra dan Pasai, yang terletak di tepi pantai Selat Malaka. Sebuah kuburan kuno telah ditemukan di situs tersebut, di batu nisannya terdapat tulisan dalam bahasa Arab dan huruf. Salah satu batu nisan berisi prasasti bernama al-Sultan al Malik al Saleh, yang meninggal pada 696 H (sesuai dengan 1297 M). Pencantuman gelar al-sultan menjadi dasar untuk memaknai keberadaan lembaga politik Islam di wilayah tersebut.
Tentu saja, sebelum terbentuknya lembaga politik Islam, Islam sudah tersebar luas di kalangan masyarakat. Hal ini tersirat dalam sumber tertulis yang berkaitan dengan daerah. Marcopolo yang mengunjungi beberapa pelabuhan di wilayah tersebut pada tahun 1292, seperti Ferlec (= Perlak), mengatakan bahwa penduduknya beragama Islam, sedangkan penduduk asli masih kafir. Di sisi lain, sumber tertulis lokal seperti Hikayat Raja-Raja Pasai dan Historia Melayu hanya mengatakan bahwa Meurah Silu, pemimpin Samudra-Pasai, masuk Islam oleh Fakir Muhammad yang keluar dari angin. Namanya kemudian diubah menjadi Malik al-Saleh.
Di Jawa, lembaga politik Islam atau Kesultanan Demak lahir pada abad ke-15, bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Majapahit. Perpindahan penguasa politik dari Majapahit ke Demak pada tahun 1519 pada hakikatnya adalah perebutan tahta antar anggota keluarga kerajaan. Dalam hal ini penguasa Demak yang juga keturunan Bhrawijaya Kertabhumi merasa diberdayakan untuk menguasai kekuasaan kerajaan Majapahit. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan pandangan agama juga memberikan peluang bagi Demak untuk menaklukkan Majapahit.
Perlu juga dicatat bahwa umat Islam tinggal di kota kerajaan dari ketinggian Majapahit, sebagaimana dibuktikan oleh makam Islam kuno Tralaya. Batu nisan kuno berisi tahun-tahun tertua: 1290 = 1368 M. C. dan jumlah tahun terakhir 1533 = 1611 d. C., tetapi tidak mengandung nama apa pun. Data tersebut menggambarkan bahwa pada tahun 1368 H. C., masih dalam masa keemasan Majapahit, umat Islam sudah tinggal di kota kerajaan, karena situs Tralaya diduga berada di selatan Istana Majapahit. Beberapa batu nisan di situs tersebut memuat relief matahari Majapahit yang dianggap sebagai lambang kerajaan Majapahit, sehingga ditafsirkan bahwa orang yang dimakamkan di sana adalah kerabat raja dan beragama Islam.
IV. penyebaran islam
Sebelum lahirnya Kesultanan Demak, penyebaran agama Islam di Jawa dilakukan baik oleh pihak asing itu sendiri maupun oleh penduduk setempat sendiri. Adapun sarana penyebarannya antara lain melalui perkawinan dengan perempuan setempat, undangan, pendidikan dan kesenian. Beberapa penyebar agama Islam, beberapa di antaranya adalah Wali Sanga, mendirikan perguruan-perguruan tinggi Islam yang murid-muridnya datang dari berbagai penjuru, dan kemudian komunitas-komunitas Muslim terbentuk di banyak tempat di Jawa.
Selama periode ini, penyebaran Islam juga mempengaruhi pulau-pulau lain, seperti Maluku, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi. Pembagian tersebut dipimpin oleh para ulama, termasuk Wali Sanga, dan kemudian mendapat dukungan politik dari para penguasa. Hal semacam ini dapat dilihat dalam penyebaran Islam, misalnya di Kalimantan Selatan. Pada tahap awal, Islam menyebar melalui jalur perdagangan ke Nusantara, artinya Islam dibawa oleh para pedagang asing dan diperkenalkan kepada penduduk Nusantara. . . Hal ini sesuai dengan perdagangan abad 7-16, terutama dari Asia Barat dan Asia Selatan ke Asia Timur dan Tenggara dan sebaliknya. Selanjutnya dalam Islam, mentransfer ajaran agama kepada pihak lain merupakan kewajiban bagi semua. Keterlibatan para pedagang dalam penyebaran Islam di Nusantara tergambar dalam banyak daerah dalam Babad atau Hikayat.
Para pedagang asing, termasuk umat Islam, cukup lama berdiam di pelabuhan-pelabuhan Nusantara, karena selain untuk kegiatan komersial, mereka juga menunggu angin kembali ke negaranya. Mereka biasanya tidak membawa keluarga karena kondisi laut yang kasar dan sulit saat itu. Oleh karena itu, mereka biasanya memulai sebuah keluarga dengan menikahi seorang wanita Bumiputra yang pertama kali masuk Islam. Dengan demikian keturunannya menjadi generasi pertama Bumiputra yang beragama Islam. Hal seperti itu lebih menguntungkan lagi jika perempuan pribumi itu adalah putri dari keluarga penting, karena status sosialnya telah mempercepat penyebaran Islam di sana. Cara penyebaran Islam ini sering tersirat dalam sumber-sumber tertulis lokal.
Jalur lain yang juga berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara adalah tasawuf. Ajaran tasawuf yang diberikan oleh para sufi (= santri tasawuf) mengandung kesamaan dengan konsep pemikiran mistik Hindu-Budha yang berkembang di Nusantara saat itu. Antara lain memudahkan diterimanya Islam oleh penduduk nusantara.
Selain melalui perdagangan, perkawinan dan tasawuf, penyebaran agama Islam juga berlangsung melalui pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan diselenggarakan oleh para ulama di universitas atau perguruan tinggi Islam. Lembaga pendidikan ini tidak sulit diterima oleh penduduk nusantara pada waktu itu, karena sistemnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan yang dijalankan oleh orang-orang bijak pada masa sebelumnya. Perguruan tinggi Islam ini banyak menarik perhatian masyarakat, termasuk yang belum memeluk agama Islam, karena ulama yang mengelola perguruan tinggi tersebut dianggap orang yang ramah, terpelajar dan penolong.
Cara lain untuk menyebarkan Islam adalah melalui seni, seperti sastra, seni pertunjukan, musik, patung dan arsitektur. Melalui seni pertunjukan, seperti wayang yang populer di kalangan masyarakat Jawa, ajaran Islam dapat ditransfer dengan memperkenalkannya dalam pertunjukan yang selalu didasarkan pada cerita Jawa kuno. Selain itu, para penyair pada masa itu juga sedang mengarang cerita-cerita baru untuk diinterpretasi, seperti cerita Menak. Demikian pula teks tembang yang mengiringi pertunjukan juga digunakan untuk mengungkapkan ajaran agama baru.
Arsitekturnya juga digunakan sebagai sarana penyebaran Islam di Nusantara. Contohnya adalah gaya arsitektur yang dipilih dalam pembangunan masjid. Seperti diketahui, gaya arsitektur masjid-masjid kuno yang disebut gaya Nusantara ini dikembangkan dari arsitektur yang sudah dikenal sebelumnya namun disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan Islam. Oleh karena itu, para pemuda muslim tidak heran ketika tiba di tempat ibadah (masjid) baru yang bentuk dan suasananya sudah tidak asing lagi bagi mereka.
Berbicara tentang masuknya Islam di Nusantara, selain waktu dan metode, lintasannya pada fase pertama tidak bisa dilewatkan. Dalam hal ini, mereka adalah kelompok etnis yang membawa agama Islam ke luar nusantara. Sebab meskipun Islam diwartakan di Jazirah Arab, diduga ekspansinya ke Nusantara tidak dilakukan secara total dan tidak langsung oleh bangsa Arab. Etnis lain juga berperan dalam arah ini, misalnya: Persia, India, bahkan mungkin Cina. Penafsiran itu didasarkan, antara lain, pada:
ada beberapa jira dan batu nisan yang didatangkan dari Gujarat (Pantai Barat India) ada episode yang menunjukkan peran orang Arab dan India dalam penyebaran Islam di Nusantara antara lain dalam Hikayat Raja -Raja Pasai, Sejarah Melayu, Babad Tanah Jawa. 3. Pemberitahuan yang ditulis oleh Ma-huan (Sekretaris Laksamana Cheng-ho yang mengunjungi Majapahit pada tahun 1415) tentang keberadaan Muslim etnis Tionghoa di Jawa
Pada fase selanjutnya, penyebaran Islam tampaknya dilakukan oleh penduduk setempat sendiri. Hal ini terlihat pada peran para penilik di Jawa dan ulama lainnya seperti Dato'ri Bandang di Sulawesi Selatan dan Tuanku Tunggang di Parang di Kalimantan Timur. Sumber tertulis lokal mengatakan bahwa mereka telah menyebarkan Islam kepada para pemimpin masyarakat dan meditator yang mapan, yang telah menarik banyak siswa dari berbagai daerah. Banyak legenda berbicara tentang keunggulan orang-orang kudus, terutama tentang kebijaksanaan dan kekuatan gaib mereka.
Di Jawa konon ada sembilan, sehingga biasa disebut Wali Sanga, meski nama anggotanya tidak selalu sama. Nama-nama yang sering disebutkan dalam sumber tertulis lokal adalah: Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Drajat, Sunan Giri dan Sunan (Te) mBayat. Sunan Bejagung, Sunan Geseng, Syeh Siti Jenar dan Sunan Sendang juga kadang disebut. Ada banyak tentang Wali yang secara historis tidak pasti, tetapi kuburan mereka masih berantakan hingga hari ini.
V. Perubahan dan kesinambungan budaya
Masuknya dan berkembangnya Islam di Indonesia telah membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tidak ada kuil atau kilat yang dibangun lagi, tetapi masjid, surah, dan makam muncul. Sistem kasta dalam masyarakat dihapuskan, patung dewa dan bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Pematung kemudian beralih ke kaligrafi, mengembangkan ornamen bunga dan geometris dan menciptakan dekorasi bergaya. Kota memiliki komponen dan tata letak baru. Juga pada abad ketujuh belas Masehi. C., Sultan Agung melahirkan penanggalan Jawa yang pada hakikatnya merupakan “perkawinan” antara penanggalan Akka dan Hijriah.
Namun di sisi lain, budaya tidak dapat dipisahkan, sehingga ada juga kesinambungan yang inovatif. Kubah masjid dan makam berbentuk atap yang ditinggikan, seperti Masjid Agung Demak yang bentuk dasarnya sudah dikenal sejak zaman dahulu, terbukti dari berbagai relief di candi. Begitu juga menara masjid tempat muadzin mengumandangkan adzan, begitu juga menara masjid Menara di Kudu. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dengan candi-candi yang panjang dan ramping gaya Jawa Timur, namun detailnya berbeda. Apse merupakan bangunan terbuka, relungnya dangkal karena tidak terdapat arca, dan hiasan reliefnya diganti dengan ubin porselen.
Bangunan makam Islam merupakan hal yang baru di Indonesia pada saat itu, sehingga batu nisan, jiras dan cungkub diciptakan dalam berbagai bentuk seni. Makam makam-makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan makam Malik Ibrahim, menurut penelitian merupakan benda-benda impor dalam bentuk jadi, terbukti dengan corak tulisan Arab yang digunakan pada prasasti dan jenis dekorasi. Belakangan, nisan dibuat di Indonesia oleh seniman lokal. Hal ini terlihat antara lain pada dekorasi yang digunakan seperti ricci, patra, dan lain-lain. Juga di Pemakaman Raja-Raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi Selatan) pada jirat adalah patung orang yang dikuburkan. Ini adalah sesuatu yang belum terjadi di tempat lain.
Dalam perencanaan kota, khususnya di kota-kota nyata di Jawa, kita juga melihat adanya perubahan dan kontinuitas. Di pusat kota kota-kota ini terdapat alun-alun, istana, masjid besar, dan pasar yang diatur menurut pola tertentu. Di sekelilingnya, bangunan lain, serta kawasan pemukiman, juga diatur dalam kelompok-kelompok menurut jenis pekerjaan, asal dan status sosial.
MILIKMU. penutupan
Selama perjalanan Anda, sebuah budaya biasanya mengalami perubahan dan perkembangan. Oleh karena itu, gaya kultivasi di suatu daerah berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini terjadi karena adanya kontak dengan budaya lain, atau dengan kata lain karena adanya kekuatan dari luar. Hubungan antara pendukung dua budaya yang berbeda telah lama tercermin dalam akulturasi, yang mencerminkan keberadaan pemberi dan penerima. Dalam proses ini, unsur-unsur dari dua budaya yang bertemu dipertemukan. Awalnya, unsur-unsurnya masih mudah dikenali, tetapi seiring waktu, akan muncul fitur-fitur baru yang tidak muncul di budaya induk.
Ternyata, proses yang digambarkan di atas terjadi berkali-kali di Indonesia, bahkan ketika Islam masuk dan berkembang di Indonesia. Perjumpaan dan akulturasi antara budaya Hindu-Budha, prasejarah dan Islam (dan kemudian Barat) berlangsung selama periode yang panjang dan bertahap. Tidak dapat disangkal bahwa akan ada ketegangan dan konflik selama periode ini. Namun, itu adalah bagian dari proses akulturasi. Faktor pendukung akulturasi adalah kesetaraan dan keluwesan budaya pemberi dan budaya penerima, dalam hal ini budaya Islam dan pra-Islam. Contohnya adalah bangunan masjid. Akulturasi juga merangsang kreativitas seniman dan dengan demikian menciptakan produk budaya baru yang belum pernah ada sebelumnya, serta cara hidup baru.
Setelah diketahui bahwa budaya dan perubahan telah terjadi untuk membentuk budaya Indonesia-Islam, perlu dipikirkan bagaimana mengembangkannya di masa sekarang dan di masa depan. Dari segi budaya material, perkembangan harus dilakukan sesuai dengan kemajuan teknologi, agar tidak terjadi pemalsuan, tetapi tanpa meninggalkan kearifan yang telah dihasilkan.
Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya budaya yang ada dengan menunjukkan kesinambungan, namun selalu dengan ciri khasnya sendiri. Hasil akulturasi juga menunjukkan adanya keterkaitan dalam perkembangan budaya Indonesia. Agar mata rantai ini tetap terlihat, pengelolaan terpadu warisan budaya Indonesia harus dilaksanakan. Ini harus dikatakan dan digarisbawahi karena banyak warisan budaya yang terancam, terutama karena kurangnya kesadaran dan pemahaman orang Indonesia sendiri.
REFERENSI
Adriijanti Romli, Inajati, 1997, "Islam dan Budaya Jawa", di Cinandi, Yogyakarta: Panitia Jurusan Arkeologi UGM Lustrum VII, hlm. 146-150
, 2001, Arkeologi Kota Mataram-Islam, Yogyakarta:
Jendela
, 2003 ”, Bandara Komersial Barus Raya. Studi banding dengan
Bandari Purba di Pulau Jawa”, Seminar Internasional Barus Raya, Jakarta: 2003
, 1991, "Makam kesultanan dan sipir stasiun
Islam di Jawa”, dalam Aspek Arkeologi Indonesia, n. 12, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Damais, L.Ch., 1995, “Makam Islam Tralaya”, dalam Epigrafi dan Sejarah Nusantara (terjemahan), Jakarta: EFEO, hlm. 223-334
Guillot, Claude, (eds), 2002, Ou Wolf. Sejarah Awal Barus, Jakarta: EFEO dan Pusat Penelitian Arkeologi.
Miksic, John, 1996, warisan Indonesia. Sejarah Kuno, Singapura: Didier Millet Pte Ltd.
Subarna, Abay D., 1987, “Elemen Estetika dan Simbolik pada Bangunan Islam”, Makalah Diskusi Ilmiah Arkeologi II.
Tjahjono, Gunawan, 1998, warisan Indonesia. Arsitektur, Singapura: Didier Millet Pte Ltd
Tjandrasasmita, Uka, 1985, Kedatangan dan Penyebaran Islam di Indonesia
Tentang Asia Tenggara, Jakarta: Yayasan Masagung
Tjandrasasmita, Uka (ed.), 1990, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka
_________
jenis huruf:
Dokumen tersebut disampaikan pada acara informasi wisata sejarah daerah DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Sejarah dan Nilai Tradisional di Yogyakarta pada 11-14 Juli 2006.
0 Comments
Posting Komentar